Kamis, 17 Februari 2011



welcome to the hell

teks area

PANCEG DINA GALUR



.Panceg dina galur/babarengan ngajaga lembur. Moal ingkah najan awaklebur." (Teguh dalam pendirian, bersama-sama menjaga kampung danpersaudaraan. Tidak akan bergeming walaupun badan hancur lebur). Petikannaskah kuno Amanat Galunggung yang dituliskan Rakeyan Darmasiksa (Raja SundaKuno yang hidup pada 1175-1297 Masehi) itu disadur menjadi lirik laguberjudul "Kujang Rompang" oleh Jasad, sebuah band beraliran death metal asalBandung. Lagu ini ikut memeriahkan Deathfest IV, festival akbar death metalyang diadakan di Lapangan Yon Zipur, Ujungberung, Bandung, Sabtu (17/10).Ribuan anak muda, mulai dari pelajar SMP hingga mahasiswa, larut dalamhiruk-pikuk event musik metal yang disebut-sebut terbesar di Asia ini.

Meski pertunjukan musik baru mulai selepas maghrib, pada siang hari yangsangat terik itu mereka sudah nongkrong menunggu band-band idola merekamanggung. Sambil mengenakan kaus hitam bermotif seram dan atribut metallainnya, mereka antusias menunggu.

Filosofi panceg dina galur bukanlah sekadar inspirasi dalam berkarya musikbagi Jasad, melainkan juga menjadi pandangan hidup seluruh anggota danpenggemar musik metal di Bandung, khususnya yang bernaung di daerahUjungberung.

"Mau seperti apa pun kita, macam mana bungkusnya, yang penting grass root(akar bawah) harus kuat. Harus sadar dan jangan lupakan budaya kita," ujarMohammad Rohman, vokalis Jasad.Bagi masyarakat awam, bahkan dibandingkan komunitas band metal lainnya diIndonesia maupun dunia, keberadaan subkultur band death metal asalUjungberung ini merupakan sebuah paradoks. Musik metal, tetapi lirik danpesan nyunda adalah perpaduan yang sulit ditemukan di tempat lain.

Ketika di banyak tempat sub-subkultur atas nama aliran musik berhaluan Baratmacam punk, grunge, maupun grindcore gencar melakukan perlawanan budayalokal, entitas penggemar musik metal Ujungberung yang berada di wadahUjungberung Rebels dan Bandung Death Metal Sindikat itu justru melakukan halsebaliknya.

Sebagai contoh, konser Death Festival IV yang diikuti 12 band death metalitu mengangkat tema kampanye penggunaan aksara kuno. Di festival yangmenjadi salah satu pembuka penyelenggaraan Helar Festival 2009 (festivalindustri kreatif di Bandung) itu, panitia membagi-bagikan leaflet mengenaicara menulis aksara sunda kuno kagana kepada penonton yang rata-rata masihberusia ABG.

"Di sekolah-sekolah, saya lihat, ini (kagana) tidaklah diajarkan. Daripadakelamaan menunggu pemerintah bertindak, kami duluan saja yang mulaibergerak," ujar Rohman yang biasa disapa Man "Jasad" ini di sela-selakonser.

Di luar panggung, Man dan kawan-kawannya kerap memakai iket kepala sebagaipenanda identitas kultur Sunda. Meski, sehari-harinya mereka tidak lepasdari jaket kulit hitam maupun aksesori anting-anting dan tato.

Upaya mengenalkan tradisi Sunda tidak terhenti di sana saja. Di dalamberbagai kesempatan, anak-anak Bandung Death Metal Sindikat kerapmenyisipkan pertunjukan karinding, celempung, dan debus."Kesenian karinding yang selama 400 tahun tenggelam coba kami hidupkankembali," tutur Dadang Hermawan, anggota Bandung Death Metal Syndicate. "Ditiap Minggu dan Jumat melakukan tumpek kaliwon di Sumur Bandung danTangkuban Parahu untuk membicarakan kesenian Sunda," tutur Man Jasadkemudian.

Terbanyak di duniaKelompok band metal yang ada di Ujungberung bahkan disebut-sebut yangterbanyak di dunia. Sejak awal 1990-an hingga kini, band-band metal tumbuhsubur di Ujungberung. Saat ini terdapat sekitar 200 band metal hanya diwilayah pinggiran Kota Bandung ini.

"Padahal, Bandung hanya kota kecil jika dibandingkan dengan kota-kota diJerman. Apalagi, di sini band-band ini kan harus dikondisikan bisa bertahanhidup di tengah banyak persoalan dan tekanan aparat," tutur PhilippHeilmeyer, mahasiswa sosial-antropologi Goethe Universitat Frankfurt,terheran-heran.

Philipp sudah tiga bulan ini berada di Bandung untuk melakukan prapenelitianmengenai kehidupan kaum metal di Ujungberung ini. Hal lain yang menarikperhatiannya adalah mengapa komunitas metal di Ujungberung ini bisa bertahanjustru dengan tetap berpijak pada nilai-nilai tradisi.

"Di Jerman, kaum metal biasanya lekat dengan kebiasaan mabuk-mabukan dannarkoba. Tetapi, mereka di sini malahan melakukan ini," ucapnya sambilmerujuk kegiatan sosialisasi aksara kagana yang dilakukan Bandung DeathMetal Sindikat.

Yang disesalkan Aris Kadarisman (35), pentolan grup band Disinfected,masyarakat, khususnya kepolisian, melihat kaum metal justru dari sisikelamnya.

Perang melawan stigma bahwa musik metal tidak identik dengan kekerasan,narkoba, dan semacamnya menjadi semakin sulit pascatragedi konser maut grupband Beside di Asia Africa Culture Center yang mengakibatkan tewasnya 11penonton, Februari 2008. "Padahal, ini terjadi lebih karena persoalanteknis, tidak cukupnya kapasitas tempat," ucapnya.

Kemandirian ekonomiDi tengah-tengah dorongan untuk mewujudkan mimpi memiliki gedung konser yangrepresentatif, anak-anak metal ini seolah-olah terusir dari kotakelahirannya. Konser di gedung maupun tempat terbuka kini menjadi hal langkabuat mereka. Deathfest IV pun bisa terwujud karena menggandeng kegiatanHelarfest 2009.

Kondisi ini pun disayangkan Ketua Bandung Creative City Forum Ridwan Kamil.Menurut dia, jika dilihat lebih jauh dari dalam, komunitas metal di Bandungmenyimpan keunggulan yang luar biasa besar. Keunggulan itu terutama soalkemandirian ekonomi.

Dari musik yang diciptakan, didukung loyalitas para penggemarnya, secaratidak langsung itu menumbuhkan pula industri fesyen, rekaman, bahkanliterasi.

Setidaknya, ada enam titik simpul industri fesyen yang dirintis sesepuh bandmetal di Ujungberung semacam Scumbagh Premium Throath yang didirikanalmarhum Ivan Scumbag dari Burgerkill."Jika musisi lain itu filosofnya adalah musik untuk kerjaan, kami justrusebaliknya. Dari kerjaan, bisnis, ya untuk menghidupi musik," tutur Dadang."Sebab, musik ini adalah the way of life kami. Tidak semuanya bisa dinilaidengan uang. Art is art, money is money," ucap Man Jasad menimpali.

Tidak diragukan lagi, kekuatan ketabahan hati dan pikiran inilah yangmembuat kelompok metal di Bandung ini tetap bertahan. Persis sesuai denganparadigma mereka: panceg dina galur, moal ingkah najan awak lembur!

panceg dia galur